www.pencarifakta.com.ǁNTT,2 Desember 2025-DI TENGAH kesibukan kuliah dan tuntutan hidup di kos-kosan, Shera Nuban, mahasiswi semester 3 jurusan Pendidikan Seni Keagamaan IAKN Kupang, menemukan cara unik untuk bertahan sekaligus mempertahankan budaya menenun.
Shera Nuban gadis asal Kabupaten TTS ini meraih mimpinya ke Kota Kupang dengan hanya membawa ongkos transportasi dan sarung tenun. “Sarung tenun yang saat itu saya bawa ada empat hasil dari kerajinan tangan saya dan ibu saat di kampung,” ungkap Shera Nuban, Senin (1/12/2025).
Tidak butuh waktu lama saat sarung- sarung hasil keuletan Shera Nuban dan Ibunya akhirnya terjual cepat dengan memposting produk tersebut di sosial media Facebook.
“Dengan uang yang ada Rp 3 juta saat laku tiga sarung itu, akhirnya kami langsung dapat membayar kos dan untuk persiapan kebutuhan sehari-hari menunggu proses pendaftaran kuliah,” ujar Shera Nuban.
Hobi yang semula hanya pelepas penat ini berubah menjadi tumpuan ketika pada 2024 ia harus membayar uang pendaftaran kuliah sebesar Rp 250.000. Saat itu, Shera Nuban nekat menjual hasil tenunnya.
Empat lembar kain tenun khas TTS laku Rp6 juta. Besaran tersebut bukan hanya menutupi biaya masuk kuliah, tetapi juga memenuhi kebutuhan awal perkuliahan dan biaya tempat tinggal.
“Awalnya karena kebutuhan. Tapi dari situ saya merasa menenun bukan sekadar pekerjaan, tapi jalan untuk terus belajar dan merawat motif tradisional yang tidak boleh hilang,” ujar Shera Nuban.
Sudah satu tahun Shera Nuban menjalankan usaha tenun dari kosnya di Naimata. Di ruangan sederhana itulah alat-alat tenun ia pasang, dan di sela-sela tumpukan buku kuliah ia menyelesaikan selembar demi selembar karya.
Untuk sebuah selendang, ia membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Namun jika membuat kain full motif, prosesnya bisa memakan waktu hingga enam bulan karena harus disesuaikan jadwal kuliah, tugas, dan jam tidur yang sering tak menentu.
“Kalau pesanan banyak atau lagi ada waktu luang baru saya bisa selesaikan cepat. Kalau lagi padat kuliah ya harus dicicil malam hari, meski sering capek dan kurang tidur,” ungkap Shera Nuban.
Shera menjual selendang tenun seharga Rp 250.000, sementara kain tenun ukuran besar harga Rp 2.000.000. Hasil penjualan digunakan untuk kebutuhan perkuliahan dan biaya hidup di kota.
“Pendapatan tidak menentu tetapi setiap bulan ada. Pokoknya kalau hasil tenun sudah jadi saya posting kalau ada yang beli itu sudah uang yang bisa saya kelola untuk kebutuhan,” ungkapnya.
Dalam satu bulan pendapatannya berkisar hingga Rp 500.000 untuk selendang dan Rp 2 juta untuk sarung motif yang ia peroleh dalam enam bulan.
Kini ia juga terbantu dengan beasiswa KIP sejak semester 2, sehingga pendapatan dari tenun tidak lagi habis untuk administrasi kampus. Produk-produknya ia pasarkan melalui Facebook, khususnya di grup “Jual Beli Tenun NTT”.
Yang diperolehnya dari hasil tenun bisa ia kelola untuk kebutuhan sehari-hari bahkan ia mampu mengirim untuk orang tua di Kabupaten TTS.
Dia mengaku, mengatur waktu menjadi tantangan terbesarnya. Baginya, menenun bukan hanya tentang uang, tetapi tentang menjaga tradisi.
“Motif-motif kami itu identitas. Saya takut kalau tidak diteruskan, lama-lama dilupakan. Jadi sambil kuliah saya mau tetap belajar motif, tetap menenun,” ungkap Shera Nuban.
Perjalanan Shera Nuban menunjukkan bahwa kreativitas bisa menjadi jalan bertahan. Dari rasa terdesak, Shera Nuban justru menemukan pintu baru yang menghubungkannya dengan budaya, pendidikan, dan masa depan yang ia bangun dengan tangannya sendiri.
“Berkat dari Tuhan kita tidak tahu kalau kita tidak usaha dan hanya diam, dengan uang tersebut kehidupan saya sangat terbantu,” ungkap Shera Nuban.
Shera Nuban ingin kelak membuka usaha tenun yang lebih besar, sambil tetap melanjutkan pendidikan. “Saya percaya siapa pun bisa maju kalau mau belajar dan kerja keras,” ungkap Shera Nuban.












